30 Jun 2015

PARADIGMA DALAM KOMUNIKASI MASSA (01): Pokok Konseptual

Pengamatan mengenai keterkaitan media dan masyarakat, menurut McQuail (2010) tidak saja dapat dilakukan dengan pendekatan “Dominant Paradigm” (Paradigma Dominan) tetapi juga dengan pendekatan “Critical Paradigm” (Paradigma Kritis). Paradigma Dominan memandang bahwa media massa memilki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat serta memandang masyarakat pada dasarnya normatif: demokratis, liberal, plural, konsensual, teratur, dan berpengetahuan. Masyarakat diasumsikan secara bertahap menuju model barat yang maju dan progresif, model masyarakat liberal-pluralis (McQuail, 2010:63). Paradigma Kritis memiliki garis teoritis dan metodologis yang berbeda; bersandar pada pandangan masyarakat yang berbeda, tidak menerima liberalis-kapitalis, utilitarian rasional-kalkulatif, ataupun model komersial sebagai cara terbaik untuk menjalankan media. Proses komunikasi massa dipandang manipulatif dan menindas (McQuail, 2010:66).
McQuail (2010) mengggarisbawahi pokok-pokok konseptual Paradigma Dominan dan Paradigma Kritis. Paradigma Dominan memandang bahwa masyarakat ideal menganut liberalisme-pluralisme, serta bebas nilai, sedangkan Paradigma Kritis memandang kritis masyarakat dan menolak netralitas nilai (tidak bebas nilai). Paradigma Kritis menolak liberalis-kapitalis maupun utilitarian rasional-kalkulatif. Ideologi alternatif yang ditawarkan Paradigma Kritis adalah Sosialisme, Marxisme, dan yang sejenisnya.
Paradigma Dominan memandang media memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat, yakni sebagai alat untuk mempersuasi masyarakat. Ini didasarkan pada pendekatan transmisi yang dianut oleh Paradigma Dominan, dimana pesan yang disampaikan media diasumsikan sampai kepada khalayak dan menghasilkan efek yang diinginkan. Di sisi lain, Paradigma Kritis menolak model transmisi komunikasi. Makna dalam pesan media tidak selalu sampai ke tujuannya, antara lain karena adanya noise di saluran serta feedback, positif maupun negatif.
Masih terkait model transmisi, Paradigma Dominan memandang efek media pada khalayak bersifat langsung dan linear, pesan dari media dimaknai seragam dan dijalankan. Individu seolah tidak memiliki kebebasan berkehendak. Sementara Paradigma Kritis memilliki pandangan non-deterministik atas pesan media. Individu memiliki subjektivitas dalam memaknai pesan media. Makna ada pada penerima alih-alih di pesan itu sendiri.
Dalam perkembangannya, Paradigma Dominan sedikit menyadari adanya faktor yang memodifikasi efek pesan media, yakni hubungan kelompok dan perbedaan individu. Pesan dari media mungkin diterima seperti yang diinginkan, tetapi individu dapat mengklarifikasi ‘kebenaran’ pesan tersebut, misalnya kepada opinion leader yang dia anggap kompeten. Paradigma Kritis telah melangkah lebih jauh dengan mengadopsi perspektif interpretatif dan konstruksionis, bahwa khalayak/masyarakat menginterpretasikan dunia/kehidupan, dan budaya dalam masyarakat adalah hasil konstruksi sosial.
Paradigma Dominan mengasumsikan bahwa komunikasi massa bekerja ke arah integrasi, kelangsungan dan ketertiban masyarakat, meskipun juga ada potensi disfungsi. Salah satu pokok konseptual Paradigma Dominan berasal dari teori informasi Shannon dan Weaver (1949), terkait efisiensi teknis saluran komunikasi. Model analisis transmisi informasi mengambarkan komunikasi sebagai sebuah proses berurutan dari sumber ke penerima. Model ini dirancang untuk memperhitungkan perbedaan pesan yang dikirim dengan pesan yang diterima, akibat pengaruh noise dalam saluran. Referensi khusus dari model ini untuk komunikasi massa adalah efek transmisi pesan (McQuail, 2010:64).
Kelemahan dari Paradigma Dominan tidak lain adalah kritik dari Paradigma Kritis terhadapnya. Model transmisi sederhana tidak berjalan dengan alasan: sinyal tidak mencapai penerima/khlalayak, pesan tidak dipahami sebagaimana yang dikirim, dan ada banyak 'noise' yang mendistorsi pesan. Selain itu, sebagian besar komunikasi termediasi, disaring oleh saluran lain maupun kontak sosial. Ini melemahkan gagasan pengaruh media yang kuat (McQuail, 2010:66).
Pokok konseptual Paradigma Kritis adalah bahwa gagasan ideologi dalam konten media memungkinkan peneliti untuk menafsirkan pesan-pesan ideologis dari hiburan massa dan berita. Gagasan ‘makna’ dalam konten media ini menyebabkan efek tidak terprediksi dan tidak terukur. Sebaliknya, konten media dilihat sebagai konstruksi pesan sesuai situasi sosial dan kepentingan. Karakter ekonomi politik organisasi media massa serta struktur nasional dan internasional dinilai dari segi strategi operasional mereka tidak netral (non-ideologis). Paradigma Kritis mengembangkan ‘keprihatinan’ atas jenis lain dari dominasi. (McQuail, 2010:67)
Robyn Penman dalam Littlejohn (2002) mengemukakan ima prinsip dalam paradigma alternatif. Pertama, tindakan dilakukan dengan sukarela sehingga perilaku seseorang tidak dapat diprediksi dengan variabel dari luar diri. Kedua, pengetahuan terbentuk secara sosial. Ketiga, teori bersifat historis, tergantung waktu dan tempat. Keempat, Teori memengaruhi realitas yang dicakupnya. Kelima, teori memuat nilai-nilai, tidak pernah netral.

Kelemahan dari Paradigma Kritis antara lain pandangan yang selalu negatif terhadap media, bahwa pesan memiliki ideologi tersembunyi, mengeksploitasi, dan menekan masyarakat tanpa melihat sisi-sisi positifnya. Selain itu, dominasi media tidak dapat digeneralisasi, tidak terjadi pada setiap waktu dan setiap tempat.

29 Jun 2015

DEFINISI KOMUNIKASI (13): Kesimpulan atas Analisis Metateori

Kesimpulan dari analisis metateori John W. Bowners dan James J. Bradac adalah bahwa saat ini sudah bukan waktunya untuk bermetateori atas studi ilmu komunikasi, juga retorika, tetapi sekarang adalah waktu untuk berteori. Selain itu, sudah saatnya, Ilmu Komunikasi berhenti meminjam teori dari ilmu-ilmu sosial lain dan hanya meneliti implikasi komunikasinya saja (misalnya implikasi disonansi psikologi terhadap komunikasi). Saatnya mengembangkan Teori dan Ilmu Komunikasi.

Daftar referensi:
Bowers, John Waite, dan James J. Bradac. 1982. Issues in Communication Theory: A Metatheorical Analysis. Dalam Mochael Burgoon (ed), Communication Yearbook 5, New Jersey, NJ: Trsnsaction, halaman 1 s.d. 25.
Canggara, Hafied. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi. Rajawali Pers.
Griffin, Emory A. 2012. A First Look at Communication Theory. 8th Edition. Mc-Graw-Hill.
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th Edition, Wadsworth Thompson Learning.
Ruben, Brent D. Lea p. Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. Pearson Education, Inc.

28 Jun 2015

DEFINISI KOMUNIKASI (12): Implikasi Analisis Metateori pada Metodologi

Implikasi metodologi dari analisis metateori Bowners dan Bradac atas komunikasi dan retorika terdiri dari tiga topik: objek studi, prosedur verifikasi, dan generalisasi eksplanasi. Diperlukan pemisahan yang jelas antara objek studi komunikasi dengan retorika, termasuk keragaman tingkat kebenaran dan kontrol dari peneliti. Objek studi komunikasi beragam, misalnya perilaku nonverbal, dapat diteliti dengan metode survey, eksperimen; kajian teks, bisa dengan banyak teks, bisa juga dengan satu teks, misalnya mengkaji teks Supersemar, Madilog, dsb. Pertanyaan penelitian dan perumusan masalah dapat dilakukan berdasarkan skema hypotethico deductive method.
Prosedur verifikasi pada studi komunikasi dan retorika mencakup kajian teks tunggal, eksperimen, pengujian konsistensi internal atas teori, metode generalisasi-transformasi, serta kombinasinya. Inti dari prosedur verifikasi dalam studi komunikasi dan retorika adalah pada ‘covering law’, selain konsistensi internal teori. Tujuan konvensional dari teori adalah untuk generalisasi eksplanasi dan prediksi, meskipun eksplanasi tertentu yang khusus juga berguna. Ketika sebuah studi menghasilkan temuan lain dari teori yang sudah mapan, perlu dikoreksi lebih dulu masalah studi itu sendiri, misalnya pada instrumen, operasionalisasi konsep, atau konstruk.

Implikasi metodologi yang lain terkait aksi dan mosi (motion). Aksi berhubungan dengan ‘tujuan’, sedangkan motion, berhubungan dengan ‘sebab’ (perilaku). Sebuah paradigma seharusnya mencakup penjelasan eksplanasi atas keduanya karena keduanya berpengaruh dalam komunikasi.

27 Jun 2015

DEFINISI KOMUNIKASI (11): Implikasi Analisis Metateori pada Substansi

Bowners dan Bradac membahas implikasi substansi dari analisis metateorinya terkait apa saja yang menjadi fokus dari studi komunikasi. Setidaknya ada empat implikasi substansi, yaitu segi nilai; perkembangan perilaku komunikasi; aturan, kendala dan strategi; serta konsep ‘self’. Dari segi hubungan komunikasi dengan nilai-nilai, komunikasi bebas dari nilai (objektif) ataukah tidak bebas dari nilai (subjektif)? Komunikasi lebih bersifat subjektif, tidak bebas nilai. Banyak perilaku dipengaruhi nilai. Oleh karena itu, nilai penting untuk dipelajari.
Dari perkembangan perilaku komunikasi, komunikasi merupakan evolusi biologis (phylogeny), bersifat bawaan genetis ataukah perkembangan embrionik (ontogeny)? Dalam phylogeny, perilaku manusia dibandingkan dengan spesies lain, perilaku ekspresif manusia terkait dengan perilaku ekspresif spesies lain, misalnya dalam paralangua, kinesik (sentuhan), dan haptik (ruang). Perilaku nonverbal ada juga pada makhluk lain, seperti kinesik dan haptik. Ada sejenis kera dan juga hewan lain di hutan yang berkomunikasi dengan menandai wilayah kekuasan mereka (haptik), misalnya. Sedangkan dalam ontogeny, perilaku manusia tidak dibandingkan dengan spesies lain. Ontogeny antara lain berfokus pada perkembangan komunikasi, dalam aspek kognitif dan bahasa, dari sejak bayi sampai dewasa, mulai dari menangis, meracau, mengucapkan kata-kata yang berarti, membuat kalimat dengan struktur rapi dan teratur, dan seterusnya.
Substansi terkait aturan, kendala dan strategi berhubungan dengan aksioma keempat, terkait parole dalam pragmatik dan langua dalam sintaksis. Teori Komunikasi idealnya nomotetik, dapat digeneralisasi, sama di semua tempat. Namun, banyak juga yang bersifat idionsinkratik, khas/unik. Budaya, sosial, ekonomi, juga berpengaruh dalam komunikasi sehingga tidak dapat digeneralisasi. Misalnya, budaya berdebat tidak selalu cocok di setiap tempat. Parole bersifat unik, khas (idiosyncratic) sedangkan langua general, bisa digeneralisir (nomothetic).

‘Self’ merupakan konsep yang penting dalam komunikasi. Seseorang tidak dapat menilai dirinya sendiri, jujur, santun, baik, misalnya. Tetapi nilai ditetapkan oleh orang lain, bukan oleh diri sendiri. Contoh: nilai/gelar-gelar yang disematkan kepada pemimpin sebuah negeri hilang seketika setelah ia digulingkan paksa, karena kesalahan-kesalahannya terbongkar. Konsep ‘self’ dapat diartikan secara sederhana maupun kompleks. Hal ini memengaruhi substansi komunikasi, misalnya self disclosure berbeda di tempat yang berbeda budayanya, ada budaya dengan self disclosure yang tinggi dan ada budaya dengan self disclosure yang rendah.

26 Jun 2015

DEFINISI KOMUNIKASI (10): Komunikasi dan Retorika

Bowners dan Bradac menyatakan intensi dapat didentifikasi dari situasi sosial, persetujuan atas atribut intensi (intersubjective reliability), dan pernyataan tentang intensi tersebut. Mereka menyatakan bahwa pada studi retorika ada ketentuan tentang intensionalitas, sedangkan pada studi komunikasi tidak. Studi komunikasi adalah hasil dari studi pengembangan dan atribusi makna pesan, sedangkan retorika, hasil dari studi pengelolaan makna. Ilmu Komunikasi adalah keseluruhan generalisasi dari studi pengembangan dan atribusi pesan (makna dalam pesan). Ilmu Retorika adalah keseluruhan generalisasi dari manajemen makna yang berfokus pada si pembuat pesan sehingga memiliki dampak tertentu. Retorika bersifat instrumental dan dapat dinilai keberhasilannya, sedangkan komunikasi non-instrumental dan ekspresif, dianaliasis secara fungsional. Retorika strategis (direncanakan dengan sadar/sengaja) sedangkan komunikasi tidak terhindarkan. Kita tidak dapat tidak berkomunikasi.

25 Jun 2015

DEFINISI KOMUNIKASI (09): Implikasi Analisis Metateori pada Definisi Komunikasi

Ada tiga implikasi pada definisi komunikasi dari tujuh pasang aksioma yang dianalisis oleh John W. Bowners dan James J. Bradac tersebut. Pertama, tentang sejauh mana intensionalitas (niat/tujuan) dijadikan kriteria dalam definisi komunikasi. Dari kajian literaturnya, disimpulkan bahwa mayoritas ahli mensyaratkan intensionalitas dalam definisi komunikasi, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya, seseorang yang berpidato, apakah intensinya adalah ‘berpidato’ itu sendiri atau yang dimaksud intensinya adalah ‘untuk mengubah perilaku orang’. Lebih lanjut, mereka berdua mempertanyakan, terkait dengan syarat intensi ini, bagaimana dengan (posisi) aksi dan mosi (motion) dalam definisi komunikasi. Aksi adalah tindakan dengan tujuan aktif yang berasal dari dalam diri, sedangkan motion adalah tindakan dengan tujuan yang disebabkan oleh faktor luar tertentu. Salah satu ataukah keduanya yang termasuk syarat intensi dalam komunikasi. Pertanyaan yang lain adalah apakah intensi tersebut mencakup intensi dari pengirim (sender) dan penerima (receiver) atau hanya salah satunya. Kemudian, penetapan adanya intensi itupun tidaklah mudah. Cara yang menarik adalah intersubjective reliability, yaitu apakah pemaknaan kita sama dengan pemaknaan sejumlah orang lain. Mereka menyarankan cara untuk mengatasi persoalan intensi, yaitu mengganti ‘intensi’ dengan ‘atribusi intensi’, yakni dugaan atas maksud perilaku orang lain (yang belum tentu sama dengan intensi orang tersebut) seperti misalnya pada komentar para pengamat politik atas peristiwa-peristiwa politik.

Implikasi definisi yang kedua, Bowners dan Bradac juga mendapatkan bahwa perilaku simbolis merupakan salah satu bagian penting definisi komunikasi, atas dasar keterlibatan informasi dan pemaknaan. Dalam arti sempit, perilaku simbolis adalah ucapan yang bertujuan, sedangkan dalam arti luas, segala seuatu yang diinterpretasikan oleh orang lain. Implikasi definisi yang ketiga, adalah perbedaan Komunikasi dengan Retorika.

24 Jun 2015

DEFINISI KOMUNIKASI (08): Analisis Metateori Bowners dan Bradac

John W. Bowners dan James J. Bradac (dalam Michael Burgoon, ed., 1982) mencoba menganalisis metateori tentang komunikasi melalui tujuh pasang aksioma, yaitu: 1) Komunikasi adalah transmisi dan penerimaan informasi vs komunikasi adalah pemaknaan; 2) Komunikasi adalah perilaku individual vs komunikasi adalah hubungan antarperilaku dari interaksi individual; 3) Komunikasi manusia unik vs komunikasi manusia hanya merupakan salah satu bentuk komunikasi hewani; 4) Komunikasi bersifat prosesual vs komunikasi bersifat statis; 5) Komunikasi tergantung konteks (kontekstual) vs komunikasi nonkontekstual; 6) Manusia tidak dapat tidak berkomunikasi vs manusia dapat tidak berkomunikasi; dan 7) Komunikasi merupakan sebuah kekuatan besar dan ada dimana-mana dalam masyarakat vs komunikasi hanya salah satu kekuatan yang lemah dari banyak kekuatan dalam masyarakat.
Salah satu pasangan aksioma adalah komunikasi bersifat kontekstual vs komunikasi bersifat nonkontekstual. Komunikasi bersifat kontekstual, konteks yang beragam memengaruhi makna pesan. Pesan mengandung report (konten) dan command (relationship), contoh: ucapan seorang satpam kepada orang yang bertamu di sebuah kantor: “KTP?!” dengan “Mohon maaf, saya bisa pinjam KTP Anda?” memiliki konten yang sama dengan command berbeda. Pesan yang sama dalam konteks yang berbeda dapat bermakna berbeda, contoh: seruan penonton “bunuh!, bunuh!” dalam pertandingan tinju bukan berarti menyuruh jagoannya benar-benar ‘membunuh’ lawannya. Ungkapan tepat atau tidak tepat tergantung pada situasinya, misalnya, bahasa-bahasa kasar seharusnya tidak digunakan dalam sidang-sidang DPR. Pengetahuan tentang hal ini disebut tacit social knowledge. Ada dua aspek kontekstual. Pertama, aspek konteks komunikatif meliputi gaya bahasa, afeksi, komentar atas intensi, misalnya “Ini penting, tolong dengarkan baik-baik.” Kedua, aspek konteks situasi situasional yang meliputi peran, semisal sebagai pemimpin, orang tua; batas tempat, topik pembicaraan dan cara bicara di kampus bebeda dengan di pasar; peristiwa/acara, dalam situasi gembira atau berduka, akan berbeda komunikasi di dalamnya.

Sebaliknya, ada aksioma komunikasi nonkontekstual, transmisi informasi tidak terpengaruh lingkungan. Stimulus tertentu menghasilkan respon reflekif yang tidak terkait konteks. Komunikasi nonkontekstual jarang terjadi, contohnya adalah refleks biologis.

DEFINISI KOMUNIKASI (07): Keragaman Types of Scholarship dan Implikasinya bagi Ilmu Komunikasi

Berdasarkan perbedaan penelitian, yang juga menuntut perbedaan dalam pertanyaan dan metode penelitian dan jenis teori yang dihasilkan, Ilmu Pengetahuan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Ilmu Scientifik, Ilmu Humanistik, dan Ilmu Sosial.
Ilmu Scientifik sering diasosiasikan dengan objektivitas, standardisasi metodologi, dan akurasi. Scientifik memiliki standar observasi, bertujuan generalisasi, menekankan pada objek di luar diri manusia (alam), mencari konsesus. Ilmu Scientifik cocok untuk masalah-masalah alam.
Ilmu Humanistik sering diasosiasikan dengan subbjektivitas. Humanistik menggali kreativitas individual, memahami respon subjektif, menekankan pada objek dalam diri manusia, mencari interpreatsi alternatif. Ilmu Humanistik cocok untuk masalah-masalah seni, pengalaman personal, dan nilai-nilai.
Ilmu Sosial mencakup Ilmu Scientifik dan Ilmu Humanistik tetapi berbeda dari keduanya. Objek ilmu sosial adalah perilaku manusia. Selain mengobservasi fenomena secara objektif dan akurat, Ilmu sosial juga menjelaskan dan menginterpretasikannya.

Ilmu Komunikasi mencakup pemahaman terhadap proses penciptaan, pertukaran, dan penginterpretasian pesan. Oleh karena itu, Ilmu Komunikasi mengombinasikan metode Scientifik dan Humanistik. Teori-teori Scientifik sekaligus teori-teori Humanistik terkandung dalam Ilmu Komunikasi. Dalam penelitian-penelitian komunikasi, setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan kuantitatif yang menekankan objektivitas dan generalisasi dan kualitatif yang lebih ke interpretasi dan bersifat subjektif, atau dapat juga kedua pendekatan tersebut digunakan bersamaan (mixed).

DEFINISI KOMUNIKASI (06): Posisi Pemikiran Motley, Anderson, dan Clavenger, Jr.

Dari sembilan jenis perilaku tersebut yang dikemukakan Litllejohn, setidaknya dapat diambil tiga posisi berbeda. Pertama, seperti pemikiran Michael Motley (1990), The Sender-Receiver Model, dimana komunikasi terbatas pada yang dimaksudkan sekaligus diterima. Model ini mencakup 4 kotak, yaitu kotak 2B, 2C, 3B, dan 3C.
Posisi kedua, The Receiver Model, sebagaimana pemikiran Peter Andersen (1991), bahwa komunikasi meliputi perilaku yang diterima receiver, terlepas dari dimaksudkan ataupun tidak perilaku/pesan tersebut oleh sender. Model ini mencakup 6 kotak, yakni kotak 1A, 1B, 2B, 2C, 3B, dan 3C.


Posisi ketiga, seperti pemikiran Theodore Clevenger (1991), yaitu The Communication Behaviour Model, komunikasi adalah yang (sekadar) dimaksudkan (walaupun tidak diterima) ataupun (sekadar) diterima (walaupun tidak dimaksudkan). Model ini mencakup 8 kotak, semua kotak kecuali kotak 1A (yang tidak dimaksudkan sekaligus tidak diterima).

DEFINISI KOMUNIKASI (05): Pemikiran Littlejohn

Perdebatan mengenai definisi komunikasi akan terus ada. Littlejohn (2002) menyusun matriks untuk menunjukkan sembilan perilaku yang dapat dianggap komunikasi, didasarkan pada dua pertanyaan mendasar. Pertama, apakah komunikasi harus ‘dimaksudkan/bertujuan’. Kedua, apakah komunikasi harus ‘diterima’? Perilaku yang bertujuan dibagi lagi menjadi verbal dan nonverbal, sedangkan penerimaan dibagi lagi menjadi yang direspon dan yang tidak.


Sembilan perilaku yang dapat dianggap komunikasi beserta contohnya dijelaskan sebagai berikut. Kotak 1A, nonperceived symptomatic behavior, yaitu perilaku tanpa maksud tertentu dan tidak ada yang menerima ‘pesan’ atas gejala tersebut, contohnya adalah seseorang menguap tanpa ada orang lain yang melihatnya. Kotak 1B, incidentally perceived symptoms, perilaku tanpa maksud tertentu diterima tanpa respon lebih, semisal seseorang menguap dan temannya menganggap dia bosan, tanpa respon lebih. Kotak 1C, symptoms attended to, yaitu perilaku tanpa maksud, diterima dengan sengaja dan direspon, misalnya seseorang menguap lalu temannya bertanya, “Kamu bosan?”
Kotak 2A, nonperceived nonverbal messages, pesan nonverbal yang dimaksudkan tetapi tidak diterima. Contohnya adalah seseorang yang melambaikan tangan kepada temannya, tetapi teman tersebut tidak melihatnya. Kotak 2B, incidental nonverbal messages, yaitu ketika maksud dari pesan nonverbal diterima tetapi tanpa respon lebih; teman tersebut melihat lambaian kepadanya, tetapi tidak membalasnya. Kotak 2C, nonverbal messages attended to, maksud pesan nonverbal diterima dan direspon lebih; teman Anda membalas lambaian tangan Anda.
Kotak 3A, nonperceived verbal messages, pesan verbal yang bertujuan tetapi tidak diterima, semisal seseorang mengirim surat, tetapi surat tersebut hilang atau salah alamat. Kotak 3B, incidental verbal messages, pesan verbal dengan maksud tertentu diterima tetapi tanpa respon apapun, seperti orang tua menasehati anaknya, si anak tahu namun tidak memperhatikannya. Kotak 3C, verbal messages attended to, pesan verbal dengan maksud tertentu diterima dan diperhatikan, contohnya seorang khatib berkhutbah di depan jamaah yang antusias mendengarkannya.

DEFINISI KOMUNIKASI (04): Upaya Ruben dan Stewart

Ruben dan Stewart (2006) menyatakan bahwa definisi-definisi komunikasi di samping memiliki persamaan-persamaan, juga memiliki sejumlah perbedaan dasar dalam empat hal, yaitu tingkat pengamatan, niat, sudut pandang, dan hasil. Empat hal ini kurang lebih sama dengan tiga perbedaan konseptual dalam mendefinisikan komunikasi yang dikemukakan Frank Dance.
Dari segi tingkat pengamatan, definisi komunikasi dapat difokuskan ke setiap tingkat (intrapersonal, interpersonal, organisasi, budaya, massa), beberapa tingkat, ataupun keseluruhan. Dari segi asumsi relatif terhadap niat atau tujuan, sebagian besar ahli sepakat bahwa komunikasi adalah tindakan sengaja dan membatasi definisi untuk tindakan ini. Namun, beberapa ahli juga berpendapat bahwa komunikasi terjadi ketika memiliki arti bagi penerima, entah itu disengaja atau tidak, contohnya adalah seseorang yang menguap. Dari sisi sudut pandang yang tersirat, definisi dapat dititikberatkan pada perspektif sumber pesan, tetapi juga dapat ditekankan pada perspektif penerima. Terakhir, dari perspektif mengenai hasil, beberapa definisi memasukkan unsur hasil, pemahaman. Kelemahan dari definisi jenis ini adalah tidak mempertimbangkan potensi kesalahpahaman.

Ruben dan Stewart (2006) juga mencoba menyusun definisikan tunggal komunikasi secara komprehensif yang mencakup empat asas komunikasi menurut mereka, yaitu asas bahwa: komunikasi adalah proses; komunikasi sangat mendasar untuk individu, interpersonal, kelompok, organisasi dan mayarakat; komunikasi melibatkan penerimaan dan penciptaan pesan serta pengubahan pesan menjadi informasi yang dapat digunakan; serta komunikasi membuat kita beradaptasi dengan lingkungan. Berdasarkan asas-asas tersebut, Ruben dan Stewart (2006) mendefinisikan komunikasi sebagai ‘proses dimana individu dalam hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, dan masyarakat, membuat dan menggunakan informasi untuk berhubungan satu sama lain, juga dengan lingkungannya’.

DEFINISI KOMUNIKASI (03): Upaya Frank Dance

Dapat dikatakan mustahil mendefinisikan komunikasi dalam satu definisi. Dari lima belas komponen konseptual definisi komunikasi yang diutarakan (simbol, pemahaman, interaksi sosial, pengurangan ketidakpastian, proses, transmisi, keterkaitan, commonally, saluran (channel), replikasi memori, respons, stimulus, intensional, situasi, dan kekuatan), Frank Dance (1970) mengemukakan tiga poin perbedaan konseptual penting dalam mendefinisikan komunikasi. Pertama, level observasi. Ada definisi yang general/inklusif, ada pula yang terbatas/restriktif. Definisi komunikasi yang general misalnya ‘proses yang menghubungkan antarbagian dalam kehidupan’ (Jurgen Ruesch: 1957), sedangkan contoh definisi yang terbatas misalnya ‘cara mengirim pesan militer melalui telepon, radio, dsb’ (The American College Dictionary: 1964). Perbedaan konseptual kedua adalah masalah intensiomalitas/tujuan. Ada definisi yang mensyaratkan intensi/maksud, baik maksud penyampaian maupun maksud penerimaanya, ada yang tidak mensyaratkan demikian. Contoh definisi yang mencakup tujuan: ‘situasi dimana sumber secara sadar mentransmisikan pesan ke penerima untuk memengaruhi perilakunya’ (Gerald R. Miller: 1966). Contoh definisi yang tidak mensyaratkan tujuan: ‘proses berbagi dari seseorang ke dua orang atau lebih’ (Alex Gode: 1959) Perbedaan konseptual ketiga yaitu judgment normatif. Ada definisi yang mencakup keberhasilan atau akurasi penerimaan pesan dan makna, ada yang tidak. ‘Pertukaran pemikiran atau ide’ (John B. Hoben: 1954), adalah contoh definisi komunikasi mengansumsikan pertukaran makna, sedangkan, ‘transmisi informasi’ (Benard Berelson dan Gary Stener: 1964) merupakan definisi yang mengabaikan pemaknaan atau pemahaman.

DEFINISI KOMUNIKASI (02): Implikasi Beragamnya Definisi Komunikasi

Implikasi beragamnya definisi komunikasi bagi ilmu komunikasi adalah bahwa kita sebenarnya tidak perlu memaksakan menetapkan satu definisi tunggal untuk ilmu komunikasi yang kita pelajari, namun dalam rangka penelitian tertentu, untuk memfokuskan perhatian, kita perlu berpegang pada satu atau beberapa definisi, ataupun mengembangkan definisi kita sendiri, yang relevan dengan tujuan penelitian kita. Implikasi lainnya adalah terbentuknya beberapa paradigma dalam memandang komunikasi. Pandangan yang paling dominan saat ini adalah model transmisi yaitu komunikasi sebagai proses transmisi informasi, sedangkan pandangan yang berbeda, antara lain model ritual yang menekankan pada berbagi makna atau pemaknaan.

DEFINISI KOMUNIKASI (01): Istilah Komunikasi Memiliki Banyak Makna

Griffin (2011) mengatakan bahwa pertanyaan tentang apa itu komunikasi akan menghasilkan kontroversi dan harapan palsu untuk menyatukan definisi komunikasi. Frank Dance dalam Griffin (2011) mengemukakan bahwa ada lebih dari 120 definisi komunikasi, lebih dari 40 tahun yang lalu, dan akan semakin banyak lagi. Belum ada definisi tunggal yang menjadi standar dalam bidang komunikasi. Pada akhir kajiannya, Dance menyatakan bahwa membuat (satu) definisi komunikasi hanya akan menghabiskan tenaga. Jennifer Slack dalam Griffin (2011) menyatakan bahwa tidak ada satu esensi mutlak yang memadai untuk menjelaskan komunikasi. Namun, Griffin (2001) tetap mencoba mendefinsikan komunikasi untuk tujuan studi, terutama bagi pemula, yaitu sebagai proses relasional untuk menciptakan dan menafsirkan pesan yang mendatangkan respon.
Ruben dan Stewart (2006) mengatakan bahwa untuk menjawab masalah tentang definisi komunikasi perlu dipahami bahwa komunikasi adalah nama untuk sebuah disiplin ilmu sekaligus untuk fenomena atau gejala, mengacu ke bidang akademis sekaligus ke fokus studi. Kedua, komunikasi memiliki arti populer dalam masyarakat umum, arti profesional yang lebih fokus di lingkungan profesional, juga arti teknis yang lebih khusus di dunia akademis.
Canggara (2014) menyatakan bahwa masalah dalam pendefinisian komunikasi antara lain karena beragamnya definisi komunikasi yang dibuat oleh para ahli menurut pemahaman dan perspektif mereka berdasarkan bidangnya msaing-masing. Ini disebabkan karena ilmu komunikasi banyak menerima sumbangan dari ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, politik, manajemen, linguistik, matematika, elektronika, dan sebagainya.
Littlejohn (2002) menyatakan bahwa mendefinisikan komunikasi itu sulit. Theodore Clevenger dalam Littlejohn (2002) menyatakan masalah dalam merumuskan definisi komunikasi untuk tujuan studi adalah karena kata komunikasi telah digunakan secara umum dan tidak mudah menggambarkannya untuk tujuan studi.

Frank Dance dan Carl Larson dalam Ruben dan Stewart (2006) mengidentifikasi 126 definisi komunikasi yang telah dipublikasikan. Kamus Inggris Oxford pun mendaftar satu lusin definisi komunikasi. Ini adalah bukti tidak dimungkinkannya menyatukan definisi komunikasi. Sulit untuk merumuskan komunikasi dalam sebuah definisi tunggal.