14 Jul 2015

Pokok Pemikiran Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure membangun fondasi klasik tentang studi Sintaktik. Di antara pokok-pokok pemikirannya antara lain bahwa signs (tanda), termasuk bahasa, dan makna bersifat arbitrary (arbitrer/sewenang-wenang). Tanda tidak mendesain sesuatu di luar dirinya sendiri, melainkan menstrukturkan realitas. Tanda tidak bersifat referensial. tidak ada hubungan antara tanda dan objek referennya. Dua kata dalam dua bahasa yang berbeda dapat merujuk pada benda yang sama, semisal ‘rumah’ (Bahasa Indonesia) dan ‘house’ (English) merujuk pada benda yang sama. Sebaliknya, dua kata yang sama dalam bahasa yang berbeda dapat merujuk pada benda yang berbeda, seperti ‘air’ dalam Bahasa Indonesia berbeda dengan ‘air’ dalam Bahasa Inggris yang berarti udara. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kata dengan makna atau benda yang dirujuk (direferensikan). Makna ditentukan oleh konvensi. Tanda, termasuk bahasa, arbitrer, merupakan konvensi yang diatur. Bahasa terpisah dari realitas. Bahasa adalah sebuah sistem terstruktur yang merepresentasikan realitas. Namun, Bahasa tidak arbitrer absolut, dalam artian, aturan-aturan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama (konvensi).
Bahasa dideskripsikan dalam syarat struktural tertentu, dalam sistem formal yang ketat. Bahasa merupakan struktur (suara, kata, kalimat, hubungan antar kalimat) dan antara bahasa dan realitas terpisah. Gramatika, aturan tentang Sintaktik dalam Bahasa Indonesia, misalnya, diwujudkan dalam bentuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Difference, merupakan kunci  untuk memahami  sistem struktur bahasa. Perbedaan satu huruf inisial (dan tentu juga bunyi/pelafalannya) pada kata pekat, lekat, dekat, dan sekat, misalnya, membuat empat kata tersebut memiliki makna yang berbeda-beda. Sistem yang dibentuk dari perbedaan/pembedaan-pembedaan ini membentuk struktur bahasa, lisan maupun tulisan. Objek yang berbeda didentifikasi oleh tanda yang berbeda (dalam suatu bahasa).
Ada perbedaan antara bahasa formal (langue) dengan penggunaan aktualnya dalam komunikasi (parole). Langue atau bahasa adalah sistem formal yang dapat dianalisis terpisah dari penggunaannya sehari-hari. Perbedaan langue dan parole ada pada persoalan stabilitas makna (synchrony dan diachrony). Langue bersifat stabil dan sinkron. Sedangkan parole atau ucapan adalah penggunaan aktual bahasa untuk mencapai tujuan. Parole bersifat diakroni, berubah secara konstan tergantung situasi. Parole diciptakan penggunanya, langue tidak. Contoh langue adalah kata ‘kursi’ yang secara denotatif mengandung makna jelas ‘kursi’ (tempat duduk), sedangkan parole, misalnya penggunaan kata ‘kursi’ secara konotatif untuk menunjuk ‘jabatan’. Contoh lain parole adalah penggunaan kata ‘bening’ di kalangan anak muda yang merujuk pada arti ‘cantik’ (bukan arti bening yang sebenarnya dalam langue, jernih, tidak berwarna), juga kata ‘apel Malang’ yang berarti rupiah dan ‘apel Washington’ yang berarti dollar di kalangan koruptor, bukan jenis buah.
Linguistik adalah studi tentang langue, bukan parole. Parole tidak sesuai untuk studi scientifik. Menurut Saussure dalam Littlejohn (2002), persepsi dan pandangan tentang realitas dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Makna dari tanda sangat dipengharuhi oleh tanda-tanda lainnya. Fakta diakronik tidak relevan dengan studi tanda yang memerlukan studi/deskripsi sinkronik.
Pokok-pokok pemikiran Ferdinand de Saussure menjadi dasar para teoris mengembangkan struktur linguistik. Level analisis dalam studi ini adalah fonetik (suara ucapan/lafal). Sekelompok fonetik membentuk fonem, yang merupakan ‘dasar bangunan’/pondasi setiap bahasa. Dialog yang mengandung sejumlah fonem menurut aturan membentuk morfem, yang merupakan unit makna terkecil, kata. Kata dikombinasikan berdasarkan aturan tata bahasa/gramatika membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
Struktur tersebut membuat tertib klasifikasi bagian bahasa, dan urutan segmen dalam proses pembentukan kalimat. Skema ini dikenal sebagai gramatika struktur-frasa, aturan penulisan. Meskipun memberi deskripsi struktur bahasa, tetapi pendekatan ini tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia menghasilkan dan memahami bahasa, Melalui proses-proses kognitif apa kalimat dihasilkan dan dipahami, bagaimana ambiguitas sintaksis dapat dijelaskan, serta bagaimana  bahasa diperoleh.

Daftar referensi:

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th Edition, Wadsworth Thompson Learning.

Perbedaan Kajian Sintaktik dan Pragmatik

Sintaktik (atau Sintaksis) adalah cabang dari Semiotika yang mempelajari hubungan formal antartanda yang merupakan kaidah untuk mengendalikan pelafalan dan penafsiran. Sintaktik kurang lebih semakna dengan gramatika atau tata bahasa. Pragmatik juga merupakan cabang Semiotika yang mempelajari hubungan tanda dengan penggunanya serta penggunaannya dalam situasi tertentu.
Sintaktik mempelajari hubungan antartanda, bagaimana tanda diorganisasikan dalam sebuah sistem tanda (tata bahasa), bagaimana tanda saling berhubungan satu sama lain yang dapat memunculkan makna baru, sedangkan Pragmatik tentang penggunaan, pengorganisasian, dan pemahaman atas tanda dalam kehidupan sehari-hari, pengaruhnya dalam perilaku, serta bagaimana orang-orang membentuk tanda dan makna dalam interaksi mereka. Ellis dalam Littlejohn (2002) menyampaikan perbedaan antara kajian atau pedoman dalam Sintaktik dengan Pragmatik, yaitu dilihat dari segi makna, struktur, konteks, fragmentasi-integrasi, komprehensi, pemikiran, tingkat keterlibatan, level perencanaan, dan literatur atau oral.
Dari segi makna, Sintaktik memandang makna ada pada pesan, teks, atau tanda, sedangkan Pragmatik memandang makna ada pada individu. Dalam Sintaktik, aturan yang lengkap dan formal tidak memberi kesempatan untuk menegosiasikan makna dalam pesan yang disampaikan. Makna ada di dalam kata atau teks itu sendiri. Sedangkan dalam Pragmatik, dimungkinkan pemaknaan individu satu berbeda dengan pemaknaan individu lain karena makna ada dalam orang atau individu.
Dari segi struktur, Sintaktik eksplisit, sedangkan Pragmatik implisit. Dalam Sintaktik, ada struktur tentang kata, frasa, klausa dan kalimat secara eksplisit, jelas, sedangkan aturan tentang struktur dalam Pragmatik bersifat implisit.
Dari segi konteks, Sintaktik low-context, sedangkan Pragmatik high-context. Sintaktik terdiri dari seperangkat aturan yang memungkinkan orang berkomunikasi dalam segala situasi. Sebuah buku masih dapat dibaca dan dipahami walaupun penulisnya telah meninggal, karena tanda (tulisan) dalam buku tersebut terikat secara Sintaktik. Low context dapat dipahami pula sebagai atribusi umum dari makna, bahwa kata-kata mempunyai makna yang diterima dan dipahami seragam secara umum. Dalam pragmatik, makna tanda, kata, kalimat, pesan selalu dikaitkan dengan konteks (situasi) dimana pesan tersebut terjadi, misalnya, istilah atau sorakan “Bunuh!” pada pertandingan tinju bukan berarti benar-benar dibunuh (sampai meninggal). Sementara ‘bunuh’ dalam Sintaktik berarti ‘menghilangkan nyawa’ atau ‘membuat meninggal’. High context yang dimaksud terkait satu kata yang dapat memiliki banyak arti atau makna, tergantung situasi atau konteks pemakaiannya.
Dari segi fragmentasi-integrasi, Sintaktik terintegrasi, sedangkan Pragmatik terfragmentasi. Dalam Sintaktik, hubungan dalam kalimat antarsubjek-predikat-objek terintergrasi, teratur, semisal “Apakah kamu sudah makan nasi?” Sedangkan dalam Pragmatik, dapat saja dipotong-potong dan sudah cukup bermakna, seperti “Sudah makan?” (tidak ada subjek) atau bahkan satu kata, semisal “Mau?”.
Dari segi komprehensi, Sintaktik mengikat leksikal internal (kohesi), sedangkan Pragmatik menghubungkan bahasa dengan pengalaman. Orang memahami tanda dalam Sintaktik berdasarkan pengetahuannya tentang gramatika atau tata bahasa, huruf dengan huruf, kata dengan kata (kata benda, kata kerja, keterangan), kalimat dengan kalimat. Dokumen kontrak adalah contoh penggunaan tanda Sintaktik. Pragmatik digunakan dalam percakapan dalam kelompok tertentu yang cenderung mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang sama, misalnya bahasa di lingkungan gay atau bahasa anak gaul semisal keleus, kepo, tidak dapat dipahami oleh orang umum secara leksikal.
Dari segi pemikiran, Sintaktik bersifat logis, sedangkan Pragmatik bersifat subjektif-organik. Dalam Sintaktik, tanda atau simbol berhubungan secara logis dengan objek referennya sehingga dapat dimengerti oleh orang pada umumnya. Dalam Pragmatik, tanda atau simbol berhubungan secara subjektif dengan individu.
Dari segi tingkat keterlibatan, pada Sintaktik tingkat keterlibatan tinggi, sedangkan Pragmatik lepas. Dalam Pragmatik, keterlibatan emosional penuh, misalnya dalam percakapan antara orang tua dengan anaknya atau percakapan dua orang sahabat. Dalam Sintaktik, lebih sering tanpa rasa, kurang melibatkan emosi, misalnya ketika membaca buku teks.
Dari segi level perencanaan, Sintaktik terencana, sedangkan Pragmatik tidak terrencana. Dalam Sintaktik, harus direncanakan atau diatur dengan baik, susunan kalimatnya. Sedangkan dalam Pragmatik, jawaban atas pertanyaan kadang tidak terduga karena tidak terlalu direncanakan.

Dari segi literal atau oral, Sintaktik cenderung literal, sedangkan Pragmatik cenderung oral. Sintaktik cenderung digunakan dalam bahasa tulis, walaupun terkadang digunakan juga dalam bahasa lisan resmi, semisal dalam pidato kenegaraan (ini pun biasanya berdasarkan teks tertulis). Pragmatik cenderung digunakan dalam praktik percakapan sehari-hari.

Daftar referensi:

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th Edition, Wadsworth Thompson Learning.

13 Jul 2015

TEORI SISTEM (07): Kritik atas Teori Sistem

Ada enam isu besar yang muncul sebagai kritik atas Teori Sistem. Pertama, Terkait lingkup teoritis, apakah generalisasi Teori Sistem menguntungkan dalam hal integrasi atau justru merugikan dalam hal ambiguitas? Teori Sistem menawarkan intergrasi ilmu-ilmu sains dengan membangun logika yang dapat diterapkan pada berbagai bidang. Namun, jika semua fenomena mengikuti prinsip sistem yang sama, bagaimana teori dapat menjelaskan perbedaan yang ada.
Kedua, terkait keterbukaan (openness), apakah keterbukaan dalam Teori Sistem memberikan fleksibilitas pemikiran dalam penerapannya atau justru membingungkan/tidak tegas? Dengan berbagai penerapan dalam bidang yang berbeda, inkonsistensi tidak dapat dihindari. Dua teori mungkin kontradiktif meskipun sama-sama menggunakan prinsip sistem. Teori Sistem memiliki beragam logika yang tidak selalu konsisten. Misalnya, prinsip sistem bahwa dunia seperti sebuah mesin tidak konsisten dengan konstruksi sosial pada teori second-order cybernetics.
Ketiga, terkait pendekatan, apakah Teori Sistem hanya sebuah filosofi atau memberikan penjelasan/eksplanasi yang bermanfaat? Teori Sistem adalah seperangkat prinsip abstrak dan kurang terorganisir yang mengarahkan pemikiran kita tetapi dengan berbagai interpretasi. Penerapan Teori Sistem pada masalah nyata mendistrak observer dari masalah signifikan yang diabaikan oleh Teori Sistem.
Keempat, terkait nilai heuristik, apakah Teori Sistem memunculkan penelitian-penelitian yang berguna? Perspektif Sistem lebih banyak menghasilkan teori-teori pendukungnya saja daripada penelitian-penelitian empiris teoritis.
Kelima, terkait validitas, apakah paradigma Teori Sistem adalah sebuah konvensi arbitrer (arbitrary) atau mencerminkan realitas alami? Jika Teori Sistem mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya, tidak valid menempatkan kesamaan antarperistiwa yang tidak benar-benar ada. Jika Teori Sistem hanya memberikan istilah yang sama untuk kesamaan antarperistiwa, secara esensial hal itu tidak berguna untuk memahami peristiwa tersebut.
Terakhir, terkait parsimoni, apakah Teori Sistem membantu menyederhanakan atau memperumit dari realitas yang ada? Teori Sistem justru lebih rumit dari kenyataan yang sebenarnya sederhana.

Daftar referensi:
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th Edition, Wadsworth Thompson Learning.

Littlejohn, Stephen W. Karen A. Foss. 2009 Encyclopedia of Communication Theory. Sage Publications.

12 Jul 2015

TEORI SISTEM (06): Second-Order Cybernetics dan Objektivitas Observasi

Second-order Cybernetics, disebut juga ‘Sibernetika dalam sistem observasi’ dan ‘Sibernetika pengetahuan’, bahwa observer dan objek observasi saling memengaruhi, dengan feedback loops antarkeduanya. Observer tidak dapat melihat objek observasi atau sistem yang diobservasi dari luar sistem tersebut. Pengetahuan adalah hasil feedback loops antara yang mengetahui dengan yang diketahui, peneliti dengan yang diteliti. Objek observasi ditentukan oleh kategori dan metode observasi, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh apa yang dilihat. Lingkaran ini merupakan sebuah sistem sibernetik yang tidak dapat dihindari.
Objektivitas dalam observasi dan pengetahuan tidak dimungkinkan karena observer bukan bagian terpisah dari sistem yang diobsevasi. Observasi dan keterlibatan dalam sebuah sistem adalah sebuah proses sosial. Second-order Cybernetics terkait dengan Konstruksionisme Sosial yang menempatkan interaksi dan komunikasi pada pusat pengetahuan.

Misalnya, seorang peneliti yang juga seorang pegawai melakukan penelitian di kantor tempat ia bekerja. Tentu ia tidak dapat objektif dalam arti melihat atau mengamati objek penelitiannya tersebut (yang juga merupakan tempat ia bekerja, dimana ia adalah bagian dari kantor tersebut) dari luar. Permisalan kedua, seandainya objek penelitiannya bukan kantornya sendiri pun, ia juga akan terlibat interaksi, saling memengaruhi, saling memberikan feedback loops, dengan respondennya. Atau dengan kata lain, si peneliti terlibat dalam second-order cybernetics. Interaksi tersebut dapat berupa wawancara, pemberian dan pengisian kuesioner, eksperimen, ataupun metode lainnya.

11 Jul 2015

TEORI SISTEM (05): Feedback Negatif dan Positif

Sistem yang teratur harus memiliki pedoman kontrol untuk mengetahui kondisi lingkungan dan bagaimana respon seharusnya. Feedback negatif adalah ketika pesan mengindikasikan deviasi dan sistem menyesuaikan dengan mengurangi deviasi tersebut (mengurangi, memperlambat, menghentikan), penting untuk kestabilan sistem. Feedback positif ketika sistem mempertahankan atau meningkatkan deviasi (mempertahankan, melanjutkan, meningkatkan), berguna untuk perkembangan sistem.
Ada tiga macam kondisi atau keadaan sistem. Keadaan stabil adalah penggunaan feedback negatif untuk menjaga sistem tetap pada posisinya. Keadaan berkembang ketika feedback positif digunakan untuk meningkatkan deviasi dan menghasilkan pergerakan dari kondisi awal. Keadaan berubah yaitu sistem bergerak dari satu kondisi ke kondisi yang lain, digunakan feedback positif dan negatif secara bergantian.

Contoh feedback negatif adalah seorang manager menunjukkan kekecewaan atas pekerjaan stafnya yang ‘terlalu kreatif’ (sampai di luar batas formalitas aturan, misalnya) sehingga staf tersebut mengurangi sedikit kreativitasnya dan bekerja lebih formal. Contoh feedback positif, manager memuji satu stafnya di depan staf-staf yang lain dengan tujuan agar staf tersebut termotivasi untuk lebih baik sekaligus agar mereka saling berkompetisi satu sama lain. Ini terjadi pada kondisi berkembang. Feedback positif seperti ini mungkin tidak dapat dilakukan terus menerus karena bisa jadi justru menimbullkan kecemburuan dan persaingan tidak sehat. Penggunaan feedback negatif dan positif secara bergantian, misalnya si manager mengkritik kinerja para bawahannya dengan tujuan agar produktivitas mereka meningkat dan ketika telah menunjukkan peningkatan yang signifikan, manager mengurangi kritiknya. Ini terjadi pada kondisi perubahan. Contoh lain dari feedback adalah pada proses melahirkan. Seorang ibu dengan panduan bidan atau dokter kandungannya, mengejan (feedback positif) dan menahan ejanan  (feedback negatif) sambil mengambil nafas secara bergantian untuk kelancaran proses persalinan. Contoh feedback pada benda mati, misalnya pada air conditioner (AC), dimana AC bekerja keras (feedback positif) mengatur suhu ruangan sesuai yang diminta dan ketika suhu ruangan sudah mendekati suhu yang diminta, AC mengurangi daya atau usahanya (feedback negatif), bahkan berhenti ketika suhu sudah sesuai permintaan. 

10 Jul 2015

TEORI SISTEM (04): Kaidah-kaidah Sibernetika

Sibernetika terkait cara sistem mengukur pengaruhnya dan membuat penyesuaian yang diperlukan. Perangkat-perangkat sibernetik terdiri dari sensor, komparator, dan aktivator. Sensor mengirim feedback ke komparator, yang menetapkan kapan mesin menyimpang atau berdeviasi dari kondisi normalnya. Komparator memandu aktivator untuk menghasilkan output yang memengaruhi lingkungan dengan berbagai cara. Tiga proses dasar tersebut merupakan basis dari sibernetika: output-feedback-adjustment.

Mekanisme feedback bervariasi dan kompleks. Perilaku terdiri dari perilaku pasif (hasil dari faktor luar) dan perilaku aktif (dari dalam sistem itu sendiri). Menggaruk bagian tubuh yang gatal adalah contoh perilaku pasif, sedangkan melambaikan tangan ke teman merupakan contoh perilaku aktif. Perilaku aktif ada yang bertujuan (membutuhkan feedback) dan ada yang tidak (perilaku acak/random). Mengusap muka bisa jadi perilaku random tetapi bisa juga bertujuan ketika dilakukan untuk mengekspresikan sesuatu, misalnya kekecewaaan. Perilaku bertujuan yang membutuhkan feedback, terdiri dari yang sederhana (membutuhkan feedback sederhana) dan yang kompleks (membutuhkan feedback positif dan/atau negatif). Perilaku pada sistem yang kompleks mungkin terprediksi dan mungkin tidak terprediksi. Perilaku yang terprediksi didasarkan pada posisi antisipatif, bukan posisi aktual. Seorang pemain bola mengoper bola bukan ke tempat dimana temannya berada, tetapi ke lokasi dimana teman tersebut akan berlari ke arahnya.

9 Jul 2015

TEORI SISTEM (03): Problem dalam Teori Informasi

Teori informasi mengibaratkan manusia sebagai mesin yang mengelola informasi. Ada argumen bahwa manusia berbeda dengan mesin sehingga hubungan kausal efek linear tidak dapat diterapkan begitu saja. Selain itu, Teori Informasi tidak memperhitungkan makna atau pemaknaan pesan, tetapi hanya soal transmisi (penyampaian) dan resepsi (penerimaan) pesan. Problem lain Teori informasi dan Teori Sistem secara umum dijelaskan di bagian Kritik atas Teori Sistem.

8 Jul 2015

TEORI SISTEM (02): Kaitan dengan Teori Informasi

Ada beberapa variasi Teori Sistem, salah satunya adalah Teori Informasi. Salah satu cara untuk memahami Sistem adalah dengan menggambarkan sejumlah informasi mengalir dari satu tempat ke tempat lain. Sebuah sistem terdiri dari bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi dalam pola yang kompleks yang membuat sistem tersebut lebih dari sekadar gabungan dari bagian-bagian. Apa satuan dalam interaksi sistem, dan apa media dimana pengaruh sistem terjadi, adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab di Teori Sistem Dasar yang kemudian dijawab oleh Teori Informasi.

Informasi adalah sejumlah sinyal atau tanda yang dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian. Teori informasi mencakup studi kuantitas sinyal. Dikembangkan oleh Claude Shannon, ilmu elektronik, rancangan transmiter, receiver, dan kode digunakan untuk memfasilitasi efisiensi informasi diterapkan secara luas pada studi perilaku dan ilmu sosial. Teori Informasi menyoal transmisi (penyampaian) dan resepsi (penerimaan) pesan. Dalam model dasar transmisi, sumber memformulasikan atau memilih pesan yang terdiri dari tanda-tanda untuk ditransmisikan. Transmiter mengubahnya menjadi sinyal lalu mengirimnya melalu kanal (channel) ke penerima. Penerima mengubah kembali sinyal menjadi pesan.

7 Jul 2015

TEORI SISTEM (01): Urgensinya bagi Teori Komunikasi

Teori Sistem terkait dengan interaksi antarelemen dalam proses yang luas. Setiap sistem terdiri dari empat elemen: objek, yaitu bagian, elemen, atau variabel di dalam sistem; atribut, kualitas sistem dan objek-objeknya; hubungan internal antar objek-objek tersebut; serta lingkungan dimana sistem itu ada. Aspek kualitas sistem terdiri atas: 1) keutuhan dan saling ketergantungan setiap objek pada objek lainnya; 2) hierarki, yaitu serangkaian jenjang dari sebuah kompleksitas, peraturan dan kontrol internal, karena sistem berorientasi pada tujuan dan mengatur dirinya sendiri untuk mencapai tujuan tersebut; 3) interaksi dengan lingkungan, sistem menerima input dan menghasilkan output, berupa materi dan energi; 4) keseimbangan, pemeliharaan diri, dimana sistem mendeteksi ketidakteraturan dan menyesuaikannya kembali; 5) perubahan dan adaptabilitas, sistem harus dapat beradaptasi; dan 6) equifinality, bahwa suatu tahap tertentu dapat dicapai oleh sistem dengan berbagai cara dan dari titik awal yang berbeda.
Keluarga merupakan contoh sebuah sistem. Masing-masing angggota keluarga adalah bagian dari sistem tersebut. Suami, istri, ibu, bapak, anak, kakak, adik, saling berinteraksi di dalam rumah ataupun di luar, dengan hubungan khas mereka masing-masing. Hubungan ibu dengan anak pertama berbeda dengan hubungannya dengan anak kedua, begitu juga dengan anak bungsunya. Kelas perkuliahan juga contoh lain sistem, ada dosen, ketua kelas, dan mahasiswa lain sebagai objek sistem yang saling berinteraksi. Mereka terikat aturan-aturan, tertulis maupun tidak. Kelas juga merupakan subsitem dari sistem-sistem yang lebih besar, jurusan, fakultas, universitas, dan seterusnya. Kantor atau organisasi juga merupakan sistem. Ada individu dengan jabatan-jabatan khusus sebagai objeknya. Direktur, manager, staf, saling berinteraksi sesuai perannya masing-msing dalam lingkungan kantor dengan aturan-aturan tertentu. Interaksi yang dimaksud di sini tidak lain adalah komunikasi. Komunikasi dapat dijelaskan melalui Teori Sistem.
Teori sistem, dan dua teori lain yang terkait, Teori Informasi dan Sibernetika, menggambarkan bagaimana dunia berjalan dalam perspektif yang luas. Teori Sistem lahir dari pendekatan reduksionis ala ilmu alam. Pendekatan Sistem dianggap dapat menjelaskan banyak hal. Teori-teori tersebut membantu kita memahami beragam proses fisik, biologis, sosial dan perilaku, termasuk komunikasi. Ide-ide dalam teori sistem koheren (jelas, logis, masuk akal) dan konsisten. Teori Sistem berdampak signifikan pada berbagai bidang, termasuk komunikasi. Teori komunikasi relevan dengan isu-isu terkait pikiran dan otak, rasionalitas, serta sistem yang kompleks..
Teori Sistem dapat diterapkan dalam aspek bidang Komunikasi, dan banyak Teori Komunikasi yang menunjukkan gejala atau fenomena sistem. Terkait hubungan (relationship), hubungan adalah sistem yang dibangun, dipelihara, dan berubah sepanjang waktu oleh interaksi. Interaksi bukan sekadar pertukaran informasi, setiap pesan memiliki implikasi konten dan hubungan. Dalam hubungan, ada pola dan dimensi kontrol, seperti dominasi, submisi, dan keseimbangan. Terkait jaringan komunikasi, organisasi dan struktur sosial lainnya berasal dari interaksi antar individu atau kelompok, yang terdiri dari respon individu/kelompok atas perilaku individu/kelompok lain. Individu adalah bagian dari kelompok yang saling berkomunikasi dengan kelompok lain membentuk sistem yang lebih besar. Komunitas yang besar adalah jaringan komunikasi dari kelompok-kelompok yang saling terhubung dan berinteraksi.
Banyak Teori komunikasi terkait dengan, bahkan diambil dari Teori Sistem karena komunikasi terdiri atas seperangkat interaksi dan Teori Sistem dapat digunakan untuk memahaminya. Teori Sistem memberikan penjelasan atas interaksi dan antarinteraksi individu dan kelompok yang membantu mengeksplorasi komunkasi sebagai proses.
Salah satu penerapan Teori Sistem dalam Teori Komunkasi adalah Dynamic Social Impact Theory (DSIT) (Bibb Latane: 1996), yang menggambarkan masyarakat sebagai sistem komunikasi besar yang terdiri dari sejunlah subsistem budaya, yang mencakup interaksi antar individu. Budaya adalah kelompok besar dimana individu-individu membagi ideologi dan praktik umum. DSIT mencoba menjelaskan bagaimana komunitas dan budaya terbentuk.
Individu cenderung bergabung dengan kelompok yang sepemikiran dengannya. Individu mengorganisasikan dirinya secara sibernetis ke dalam struktur dinamis kelompok dengan karakteristik yang sejenis. Sebagai contoh, mahasiswa jurusan akuntansi cenderung berinteraksi dan berkelompok dengan mahasiswa akuntansi juga, mereka saling memengaruhi satu sama lain dan akhirnya membentuk budaya di kalangan mereka. Jarang mahasiswa akuntansi berinteraksi dengan jurusan lain, terlebih lagi dari fakultas lain, misalnya ilmu komunkasi. Kecenderungan self-organizing ini juga dapat menjelaskan terbentuknya kelompok minoritas.

Individu-individu dengan ide, keyakinan, sikap dan perilaku yang berbeda-beda berinteraksi, bertemu, berkomunikasi, dan saling memengaruhi dalam social space. Aspek-aspek yang berpengaruh dalam social space antara lain: jarak fisik, susunan sosial (ras, kelas), dan media komunikasi. Pengaruh antarindividu bervariasi sepanjang tiga dimensi: kekuatan (strength) individu dalam sosial space, imediasi (immediacy) yaitu ketertutupan di antara dua orang, dan jumlah orang yang ada di dalam social space. Semakin banyak individu yang terpengaruh dalam social space, semakin cenderung membentuk kelompok. Mekanisme sibernetika menjamin keberagaman dalam sistem yang lebih luas. Interaksi tidak pernah seluruhnya acak, dan pengaruh tidak pernah seluruhnya linear dalam sebuah sistem. Ini menjaga perubahan dan keberagaman sistem. Masyarakat sebagai sebuah sistem besar dari interaksi individu dimana terjadi feedback loops secara berkelanjutan membentuk tatanan sosial dan keberagaman.

6 Jul 2015

KERANGKA AKUNTABILITAS MEDIA (05): Kerangka Paling Utama

Dalam masyarakat yang terbuka, banyak proses akuntabilitas yang tumpang tindih, tetapi tidak ada sistem yang lengkap yang mencukupi. Beberapa media tidak bertanggung jawab kecuali atas kekuatan pasar. Keragaman akuntabilitas dapat dianggap sebagai positif. Sesuai prinsip keterbukaan, kita harus memilih bentuk akuntabilitas yang transparan, sukarela dan didasarkan pada hubungan aktif dan dialogis. Alternatif kontrol eksternal, paksaan dan ancaman hukum efektif dalam jangka pendek dan terkadang menjadi satu-satunya cara, tetapi dalam jangka panjang bertentangan dengan semangat masyarakat terbuka. (McQuail, 2010: 213)
Kerangka yang paling utama adalah Kerangka Tanggung Jawab Profesional, karena standar kinerja, perilaku, dan etika secara umum sudah mencakup ketentuan dalam tiga kerangka akuntabilitas media lainnya. Melalui profesionalisme juga, media dan wartawan akan selalu meningkatkan kualitas informasi yang disajikan untuk khalayak berdasarkan standar kinerja, standar perilaku, dan standar etika, baik yang ditetapkan oleh pihak media dan jurnalis di internal mereka sendiri, maupun yang ditetapkan dari luar, semisal oleh pemerintah. Oleh karena itu, profesionalisme media dan wartawan harus ditingkatkan melalui pengelolaan media yang baik serta pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi wartawan serta penegakan kode etik.

Bahan bacaan:
McQuail, D. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory, 6th Edition. Halaman 192 s.d. 215. London. Sage Publications.
Sendjaja, Sasa Djuarsa. 2008. Akuntabilitas Sosial Media Massa, dalam Buku Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia. Halaman 459 s.d. 474. Jakarta. Kompas Media Nusantara.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
http://www.kpi.go.id/index.php/2012-05-03-14-44-06/2012-05-03-14-44-38/dasarpembentukan

5 Jul 2015

KERANGKA AKUNTABILITAS MEDIA (04): Tanggung Jawab Profesional

Akuntabilitas ini muncul dari diri dan pengembangan etika profesional pekerja media, yang menetapkan standar kinerja mereka sendiri. Hal ini juga dapat berlaku untuk asosiasi pemilik, editor, dan produser, dengan tujuan melindungi kepentingan industri melalui self-regulation. Mekanisme dan prosedurnya terdiri dari kode etik profesional media, serta prosedur untuk mendengar dan menilai keluhan terhadap tindakan media. Isunya dapat berupa beberapa kerugian yang terjadi pada individu atau kelompok. Perkembangan profesionalisme di media sering didukung oleh pemerintah serta dibantu pendidikan dan pelatihan. Keuntungannya, sistem akuntabilitas ini umumnya dapat berjalan karena kesukarelaan sekaligus kepentingan media dan profesional; memiliki manfaat yang non-koersif dan mendorong pengembangan serta pengendalian diri secara sukarela. Kekurangannya adalah sempitnya aplikasi dan tidak menimbulkan tekanan berarti pada media yang kuat, tidak cukup independen dari media itu sendiri dan juga fragmentaris dalam cakupannya (Fengler, 2003). Profesionalisme tidak berkembang dalam media dan karyawan yang memiliki sedikit otonomi dari manajemen dan pemilik (McQuail, 2010:212).

Kerangka ini diwujudkan antara lain dalam bentuk Kode Etik yang ditetapkan dan diawasi oleh Dewan Pers. Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanatkan pembentukan Dewan Pers independen yang antara lain bertugas, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah, dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 (http://www.dewanpers.or.id).

4 Jul 2015

KERANGKA AKUNTABILITAS MEDIA (03): Tanggung Jawab Publik

Organisasi media juga merupakan lembaga sosial dengan tugas publik tertentu yang lebih penting dari tujuan mencari laba dan membuka lapangan kerja. Masyarakat terbuka umumnya mengharapkan media melayani kepentingan publik dalam hal informasi, publikasi dan budaya. Mekanisme dan prosedur kerangka tanggung jawab publik terdiri dari kegiatan kelompok seperti lembaga konsumen dan survei. Pemerintah terkadang melembagakan komisi untuk menilai kinerja media. Beberapa media dioperasikan atas dasar nirlaba untuk melayani informasi umum atau tujuan sosial. Kelebihan kerangka ini adalah bahwa kebutuhan masyarakat dapat dinyatakan secara langsung serta adanya hubungan interaktif antara media dan masyarakat. Masyarakat dapat menjawab media sebagai warga negara atau anggota kelompok, dan media dapat meresponnya. Akuntabilitas ini terbuka, demokratis, sukarela, dan melindungi kebebasan. Kekurangan kerangka ini adalah kesukarelaan. Beberapa media menolak status trustee dan menggunakan kebebasan mereka tanpa tanggung jawab. Tidak ada sistem nyata akuntabilitas ini kecuali dalam penyiaran publik. Tren ke arah globalisasi dan konsentrasi media merusak kerangka ini (McQuail, 2010, 212).

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan salah satu bentuk perwujudan kerangka Tanggung Jawab Publik. Pasal 6 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan dasar pembentukan KPI. Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. (http://www.kpi.go.id) Remotivi, sebuah inisiatif warga untuk memantau tayangan televisi di Indonesia, juga berperan dalam kerangka ini. Cakupan kerjanya meliputi: aktivitas pendidikan melek media; menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap kritis masyarakat terhadap televisi; dan mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik. (http://remotivi.or.id/) Pemuatan surat pembaca, ralat, dan tanggapan merupakan bentuk lain dari tanggung jawab publik (Sendjaja: 2008).

3 Jul 2015

KERANGKA AKUNTABILITAS MEDIA (02): Pasar

Fokus utama kerangka ini adalah aspek kualitas, konten, dan teknis. Pasar mendorong perbaikan dengan cara kompetisi. Mekanisme Pasar menyeimbangkan kepentingan media, klien, dan khalayak. Kelebihan pendekatan ini adalah tidak adanya paksaan, serta adanya hukum penawaran dan permintaan yang ‘memastikan’ kepentingan produsen dan konsumen seimbang, yang mendorong kinerja baik dan mencegah kinerja buruk. Sistem ini dapat mengatur dan mengoreksi diri sendiri tanpa regulasi atau kontrol luar. Keterbatasan kerangka ini adalah media terlalu 'dikomersilkan', diselenggarakan untuk tujuan keuntungan daripada komunikasi dan kurang adanya standar kualitas. Ini justru membuat pasar tidak dapat mengoreksi diri sendiri. Keterbatasan lain adalah jarangnya ada pasar sempurna dan keuntungan teoritis yang tidak terrealisasi. Tidak ada penyeimbang efektif untuk praktik media yang hanya bertujuan memaksimalkan keuntungan jangka pendek dimana monopoli swasta berkembang. Kebebasan dan kualitas media pada akhirnya adalah kebebasan dan kesejahteraan pemilik media (McQuail, 2010:211).

Nielsen Media Research selain dapat dimasukkan ke dalam kerangka tanggung jawab publik, juga memegang peran penting dalam kerangka pasar di Indonesia. Nielsen membuat riset terhadap media, sehingga media pun dapat mengikuti selera masyarakat. Yang menjadi masalah adalah Nielsen bisa dikatakan tanpa saingan atau memonopoli ‘rating’ media (terutama TV) di Indonesia. Ditambah dengan metodologi riset Nielsen yang dipermasalahkan (misalnya tentang lingkup sample, dimana riset hanya dilakukan di 20 kota besar di seluruh Indonesia), monopoli tersebut menimbulkan dampak buruk bagi kerangka pasar akuntabilitas media di Indonesia, karena media tergantung pada pendapatan dari iklan dan pengiklan bergantung pada rating Nielsen. Akhirnya, selera masyarakat dapat diduga sebenarnya adalah selera yang diarahkan (dikonstruksikan) oleh lembaga riset tersebut. Acara-acara berbau seks, kekerasan, dan gosip adalah hasil dari mekanisme pasar palsu ini. Padahal, seandainya rating yang dihasilkan lembaga tersebut valid, pun tidak menjamin konten media menjadi berkualitas, karena kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan kuantitas/popularitas. Inilah kelemahan sebenarnya dari kerangka yang mengarah ke komersial alih-alih ideal.

2 Jul 2015

KERANGKA AKUNTABILITAS MEDIA (01): Hukum dan Peraturan

Menurut McQuail (2010), terdapat 4 (empat) kerangka akuntabilitas media yang perlu diperhatikan oleh para pengelola media massa yakni: (1) “the frame of law and regulation”, (2) “the frame of market”, (3) “the frame of public responsibility”, dan (4) “the frame of professional responsibility”. McQuail (2010) mendefinisikan kerangka akuntabilitas sebagai kerangka acuan dimana harapan mengenai perilaku dan tanggung jawab muncul, tuntutan diajukan, serta bagaimana cara tuntutan tersebut ditangani. Empat kerangka akuntabilitas sebagai alternatif memiliki wacana, logika, bentuk dan prosedur tersendiri, namun tidak saling eksklusif. Ada beberapa elemen umum: harus ada hubungan antara agen media dan penuntut eksternal, seringkali ada pihak ketiga sebagai penengah, ada prinsip-prinsip perilaku yang baik, serta ada aturan, prosedur dan bentuk penilaian tertentu (McQuail, 2010: 210).
Kerangka Hukum dan Peraturan mengacu pada semua kebijakan publik, hukum dan peraturan yang memengaruhi struktur dan operasi media. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan dan memelihara kondisi bebas, interkomunikasi yang luas dalam masyarakat, dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta membatasi potensi kerugian bagi kepentingan pribadi dan publik yang sah. Mekanisme utama dan prosedur kerangka ini terdiri dari dokumen peraturan tentang media serta aturan dan prosedur untuk melaksanakannya. Isu utamanya terkait dugaan kerugian bagi individu. Kelebihan pendekatan ini adalah adanya kekuatan untuk menegakkan tuntutan, juga kontrol demokratis secara politis, batas-batas kebebasan dan ruang lingkup regulasi yang jelas, serta antisipasi akan hukuman yang dapat berfungsi seperti sensor. Kelemahannya adalah adanya potensi konflik antara tujuan melindungi kebebasan publikasi dan membuat media akuntabel, serta lebih mudah diterapkan pada struktur daripada konten. Hukum dan peraturan sering tidak efektif, sulit ditegakkan, efek jangka panjang tak terduga, dan kesulitan mengubah atau menghapus aturan yang usang, juga dapat menjadi bagian dari sistem kepentingan pribadi. (McQuail, 2010: 210)
Di Indonesia, dasar dari kerangka ini termuat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, antara lain dalam pasal 28F, yang disebutkan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Aturan turunan dari amanat UUD tersebut diwujudkan salah satunya dalam bentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 UU tersebut menyebutkan hak-hak pers tentang kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi warga negara; tidak diperkenakannya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran terhadap pers nasional; pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; serta Hak Tolak wartawan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Undang-Undang lain dalam kerangka ini adalah UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.