14 Jul 2015

Pokok Pemikiran Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure membangun fondasi klasik tentang studi Sintaktik. Di antara pokok-pokok pemikirannya antara lain bahwa signs (tanda), termasuk bahasa, dan makna bersifat arbitrary (arbitrer/sewenang-wenang). Tanda tidak mendesain sesuatu di luar dirinya sendiri, melainkan menstrukturkan realitas. Tanda tidak bersifat referensial. tidak ada hubungan antara tanda dan objek referennya. Dua kata dalam dua bahasa yang berbeda dapat merujuk pada benda yang sama, semisal ‘rumah’ (Bahasa Indonesia) dan ‘house’ (English) merujuk pada benda yang sama. Sebaliknya, dua kata yang sama dalam bahasa yang berbeda dapat merujuk pada benda yang berbeda, seperti ‘air’ dalam Bahasa Indonesia berbeda dengan ‘air’ dalam Bahasa Inggris yang berarti udara. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kata dengan makna atau benda yang dirujuk (direferensikan). Makna ditentukan oleh konvensi. Tanda, termasuk bahasa, arbitrer, merupakan konvensi yang diatur. Bahasa terpisah dari realitas. Bahasa adalah sebuah sistem terstruktur yang merepresentasikan realitas. Namun, Bahasa tidak arbitrer absolut, dalam artian, aturan-aturan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama (konvensi).
Bahasa dideskripsikan dalam syarat struktural tertentu, dalam sistem formal yang ketat. Bahasa merupakan struktur (suara, kata, kalimat, hubungan antar kalimat) dan antara bahasa dan realitas terpisah. Gramatika, aturan tentang Sintaktik dalam Bahasa Indonesia, misalnya, diwujudkan dalam bentuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Difference, merupakan kunci  untuk memahami  sistem struktur bahasa. Perbedaan satu huruf inisial (dan tentu juga bunyi/pelafalannya) pada kata pekat, lekat, dekat, dan sekat, misalnya, membuat empat kata tersebut memiliki makna yang berbeda-beda. Sistem yang dibentuk dari perbedaan/pembedaan-pembedaan ini membentuk struktur bahasa, lisan maupun tulisan. Objek yang berbeda didentifikasi oleh tanda yang berbeda (dalam suatu bahasa).
Ada perbedaan antara bahasa formal (langue) dengan penggunaan aktualnya dalam komunikasi (parole). Langue atau bahasa adalah sistem formal yang dapat dianalisis terpisah dari penggunaannya sehari-hari. Perbedaan langue dan parole ada pada persoalan stabilitas makna (synchrony dan diachrony). Langue bersifat stabil dan sinkron. Sedangkan parole atau ucapan adalah penggunaan aktual bahasa untuk mencapai tujuan. Parole bersifat diakroni, berubah secara konstan tergantung situasi. Parole diciptakan penggunanya, langue tidak. Contoh langue adalah kata ‘kursi’ yang secara denotatif mengandung makna jelas ‘kursi’ (tempat duduk), sedangkan parole, misalnya penggunaan kata ‘kursi’ secara konotatif untuk menunjuk ‘jabatan’. Contoh lain parole adalah penggunaan kata ‘bening’ di kalangan anak muda yang merujuk pada arti ‘cantik’ (bukan arti bening yang sebenarnya dalam langue, jernih, tidak berwarna), juga kata ‘apel Malang’ yang berarti rupiah dan ‘apel Washington’ yang berarti dollar di kalangan koruptor, bukan jenis buah.
Linguistik adalah studi tentang langue, bukan parole. Parole tidak sesuai untuk studi scientifik. Menurut Saussure dalam Littlejohn (2002), persepsi dan pandangan tentang realitas dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Makna dari tanda sangat dipengharuhi oleh tanda-tanda lainnya. Fakta diakronik tidak relevan dengan studi tanda yang memerlukan studi/deskripsi sinkronik.
Pokok-pokok pemikiran Ferdinand de Saussure menjadi dasar para teoris mengembangkan struktur linguistik. Level analisis dalam studi ini adalah fonetik (suara ucapan/lafal). Sekelompok fonetik membentuk fonem, yang merupakan ‘dasar bangunan’/pondasi setiap bahasa. Dialog yang mengandung sejumlah fonem menurut aturan membentuk morfem, yang merupakan unit makna terkecil, kata. Kata dikombinasikan berdasarkan aturan tata bahasa/gramatika membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
Struktur tersebut membuat tertib klasifikasi bagian bahasa, dan urutan segmen dalam proses pembentukan kalimat. Skema ini dikenal sebagai gramatika struktur-frasa, aturan penulisan. Meskipun memberi deskripsi struktur bahasa, tetapi pendekatan ini tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia menghasilkan dan memahami bahasa, Melalui proses-proses kognitif apa kalimat dihasilkan dan dipahami, bagaimana ambiguitas sintaksis dapat dijelaskan, serta bagaimana  bahasa diperoleh.

Daftar referensi:

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th Edition, Wadsworth Thompson Learning.

Perbedaan Kajian Sintaktik dan Pragmatik

Sintaktik (atau Sintaksis) adalah cabang dari Semiotika yang mempelajari hubungan formal antartanda yang merupakan kaidah untuk mengendalikan pelafalan dan penafsiran. Sintaktik kurang lebih semakna dengan gramatika atau tata bahasa. Pragmatik juga merupakan cabang Semiotika yang mempelajari hubungan tanda dengan penggunanya serta penggunaannya dalam situasi tertentu.
Sintaktik mempelajari hubungan antartanda, bagaimana tanda diorganisasikan dalam sebuah sistem tanda (tata bahasa), bagaimana tanda saling berhubungan satu sama lain yang dapat memunculkan makna baru, sedangkan Pragmatik tentang penggunaan, pengorganisasian, dan pemahaman atas tanda dalam kehidupan sehari-hari, pengaruhnya dalam perilaku, serta bagaimana orang-orang membentuk tanda dan makna dalam interaksi mereka. Ellis dalam Littlejohn (2002) menyampaikan perbedaan antara kajian atau pedoman dalam Sintaktik dengan Pragmatik, yaitu dilihat dari segi makna, struktur, konteks, fragmentasi-integrasi, komprehensi, pemikiran, tingkat keterlibatan, level perencanaan, dan literatur atau oral.
Dari segi makna, Sintaktik memandang makna ada pada pesan, teks, atau tanda, sedangkan Pragmatik memandang makna ada pada individu. Dalam Sintaktik, aturan yang lengkap dan formal tidak memberi kesempatan untuk menegosiasikan makna dalam pesan yang disampaikan. Makna ada di dalam kata atau teks itu sendiri. Sedangkan dalam Pragmatik, dimungkinkan pemaknaan individu satu berbeda dengan pemaknaan individu lain karena makna ada dalam orang atau individu.
Dari segi struktur, Sintaktik eksplisit, sedangkan Pragmatik implisit. Dalam Sintaktik, ada struktur tentang kata, frasa, klausa dan kalimat secara eksplisit, jelas, sedangkan aturan tentang struktur dalam Pragmatik bersifat implisit.
Dari segi konteks, Sintaktik low-context, sedangkan Pragmatik high-context. Sintaktik terdiri dari seperangkat aturan yang memungkinkan orang berkomunikasi dalam segala situasi. Sebuah buku masih dapat dibaca dan dipahami walaupun penulisnya telah meninggal, karena tanda (tulisan) dalam buku tersebut terikat secara Sintaktik. Low context dapat dipahami pula sebagai atribusi umum dari makna, bahwa kata-kata mempunyai makna yang diterima dan dipahami seragam secara umum. Dalam pragmatik, makna tanda, kata, kalimat, pesan selalu dikaitkan dengan konteks (situasi) dimana pesan tersebut terjadi, misalnya, istilah atau sorakan “Bunuh!” pada pertandingan tinju bukan berarti benar-benar dibunuh (sampai meninggal). Sementara ‘bunuh’ dalam Sintaktik berarti ‘menghilangkan nyawa’ atau ‘membuat meninggal’. High context yang dimaksud terkait satu kata yang dapat memiliki banyak arti atau makna, tergantung situasi atau konteks pemakaiannya.
Dari segi fragmentasi-integrasi, Sintaktik terintegrasi, sedangkan Pragmatik terfragmentasi. Dalam Sintaktik, hubungan dalam kalimat antarsubjek-predikat-objek terintergrasi, teratur, semisal “Apakah kamu sudah makan nasi?” Sedangkan dalam Pragmatik, dapat saja dipotong-potong dan sudah cukup bermakna, seperti “Sudah makan?” (tidak ada subjek) atau bahkan satu kata, semisal “Mau?”.
Dari segi komprehensi, Sintaktik mengikat leksikal internal (kohesi), sedangkan Pragmatik menghubungkan bahasa dengan pengalaman. Orang memahami tanda dalam Sintaktik berdasarkan pengetahuannya tentang gramatika atau tata bahasa, huruf dengan huruf, kata dengan kata (kata benda, kata kerja, keterangan), kalimat dengan kalimat. Dokumen kontrak adalah contoh penggunaan tanda Sintaktik. Pragmatik digunakan dalam percakapan dalam kelompok tertentu yang cenderung mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang sama, misalnya bahasa di lingkungan gay atau bahasa anak gaul semisal keleus, kepo, tidak dapat dipahami oleh orang umum secara leksikal.
Dari segi pemikiran, Sintaktik bersifat logis, sedangkan Pragmatik bersifat subjektif-organik. Dalam Sintaktik, tanda atau simbol berhubungan secara logis dengan objek referennya sehingga dapat dimengerti oleh orang pada umumnya. Dalam Pragmatik, tanda atau simbol berhubungan secara subjektif dengan individu.
Dari segi tingkat keterlibatan, pada Sintaktik tingkat keterlibatan tinggi, sedangkan Pragmatik lepas. Dalam Pragmatik, keterlibatan emosional penuh, misalnya dalam percakapan antara orang tua dengan anaknya atau percakapan dua orang sahabat. Dalam Sintaktik, lebih sering tanpa rasa, kurang melibatkan emosi, misalnya ketika membaca buku teks.
Dari segi level perencanaan, Sintaktik terencana, sedangkan Pragmatik tidak terrencana. Dalam Sintaktik, harus direncanakan atau diatur dengan baik, susunan kalimatnya. Sedangkan dalam Pragmatik, jawaban atas pertanyaan kadang tidak terduga karena tidak terlalu direncanakan.

Dari segi literal atau oral, Sintaktik cenderung literal, sedangkan Pragmatik cenderung oral. Sintaktik cenderung digunakan dalam bahasa tulis, walaupun terkadang digunakan juga dalam bahasa lisan resmi, semisal dalam pidato kenegaraan (ini pun biasanya berdasarkan teks tertulis). Pragmatik cenderung digunakan dalam praktik percakapan sehari-hari.

Daftar referensi:

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th Edition, Wadsworth Thompson Learning.

13 Jul 2015

TEORI SISTEM (07): Kritik atas Teori Sistem

Ada enam isu besar yang muncul sebagai kritik atas Teori Sistem. Pertama, Terkait lingkup teoritis, apakah generalisasi Teori Sistem menguntungkan dalam hal integrasi atau justru merugikan dalam hal ambiguitas? Teori Sistem menawarkan intergrasi ilmu-ilmu sains dengan membangun logika yang dapat diterapkan pada berbagai bidang. Namun, jika semua fenomena mengikuti prinsip sistem yang sama, bagaimana teori dapat menjelaskan perbedaan yang ada.
Kedua, terkait keterbukaan (openness), apakah keterbukaan dalam Teori Sistem memberikan fleksibilitas pemikiran dalam penerapannya atau justru membingungkan/tidak tegas? Dengan berbagai penerapan dalam bidang yang berbeda, inkonsistensi tidak dapat dihindari. Dua teori mungkin kontradiktif meskipun sama-sama menggunakan prinsip sistem. Teori Sistem memiliki beragam logika yang tidak selalu konsisten. Misalnya, prinsip sistem bahwa dunia seperti sebuah mesin tidak konsisten dengan konstruksi sosial pada teori second-order cybernetics.
Ketiga, terkait pendekatan, apakah Teori Sistem hanya sebuah filosofi atau memberikan penjelasan/eksplanasi yang bermanfaat? Teori Sistem adalah seperangkat prinsip abstrak dan kurang terorganisir yang mengarahkan pemikiran kita tetapi dengan berbagai interpretasi. Penerapan Teori Sistem pada masalah nyata mendistrak observer dari masalah signifikan yang diabaikan oleh Teori Sistem.
Keempat, terkait nilai heuristik, apakah Teori Sistem memunculkan penelitian-penelitian yang berguna? Perspektif Sistem lebih banyak menghasilkan teori-teori pendukungnya saja daripada penelitian-penelitian empiris teoritis.
Kelima, terkait validitas, apakah paradigma Teori Sistem adalah sebuah konvensi arbitrer (arbitrary) atau mencerminkan realitas alami? Jika Teori Sistem mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya, tidak valid menempatkan kesamaan antarperistiwa yang tidak benar-benar ada. Jika Teori Sistem hanya memberikan istilah yang sama untuk kesamaan antarperistiwa, secara esensial hal itu tidak berguna untuk memahami peristiwa tersebut.
Terakhir, terkait parsimoni, apakah Teori Sistem membantu menyederhanakan atau memperumit dari realitas yang ada? Teori Sistem justru lebih rumit dari kenyataan yang sebenarnya sederhana.

Daftar referensi:
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th Edition, Wadsworth Thompson Learning.

Littlejohn, Stephen W. Karen A. Foss. 2009 Encyclopedia of Communication Theory. Sage Publications.

12 Jul 2015

TEORI SISTEM (06): Second-Order Cybernetics dan Objektivitas Observasi

Second-order Cybernetics, disebut juga ‘Sibernetika dalam sistem observasi’ dan ‘Sibernetika pengetahuan’, bahwa observer dan objek observasi saling memengaruhi, dengan feedback loops antarkeduanya. Observer tidak dapat melihat objek observasi atau sistem yang diobservasi dari luar sistem tersebut. Pengetahuan adalah hasil feedback loops antara yang mengetahui dengan yang diketahui, peneliti dengan yang diteliti. Objek observasi ditentukan oleh kategori dan metode observasi, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh apa yang dilihat. Lingkaran ini merupakan sebuah sistem sibernetik yang tidak dapat dihindari.
Objektivitas dalam observasi dan pengetahuan tidak dimungkinkan karena observer bukan bagian terpisah dari sistem yang diobsevasi. Observasi dan keterlibatan dalam sebuah sistem adalah sebuah proses sosial. Second-order Cybernetics terkait dengan Konstruksionisme Sosial yang menempatkan interaksi dan komunikasi pada pusat pengetahuan.

Misalnya, seorang peneliti yang juga seorang pegawai melakukan penelitian di kantor tempat ia bekerja. Tentu ia tidak dapat objektif dalam arti melihat atau mengamati objek penelitiannya tersebut (yang juga merupakan tempat ia bekerja, dimana ia adalah bagian dari kantor tersebut) dari luar. Permisalan kedua, seandainya objek penelitiannya bukan kantornya sendiri pun, ia juga akan terlibat interaksi, saling memengaruhi, saling memberikan feedback loops, dengan respondennya. Atau dengan kata lain, si peneliti terlibat dalam second-order cybernetics. Interaksi tersebut dapat berupa wawancara, pemberian dan pengisian kuesioner, eksperimen, ataupun metode lainnya.

11 Jul 2015

TEORI SISTEM (05): Feedback Negatif dan Positif

Sistem yang teratur harus memiliki pedoman kontrol untuk mengetahui kondisi lingkungan dan bagaimana respon seharusnya. Feedback negatif adalah ketika pesan mengindikasikan deviasi dan sistem menyesuaikan dengan mengurangi deviasi tersebut (mengurangi, memperlambat, menghentikan), penting untuk kestabilan sistem. Feedback positif ketika sistem mempertahankan atau meningkatkan deviasi (mempertahankan, melanjutkan, meningkatkan), berguna untuk perkembangan sistem.
Ada tiga macam kondisi atau keadaan sistem. Keadaan stabil adalah penggunaan feedback negatif untuk menjaga sistem tetap pada posisinya. Keadaan berkembang ketika feedback positif digunakan untuk meningkatkan deviasi dan menghasilkan pergerakan dari kondisi awal. Keadaan berubah yaitu sistem bergerak dari satu kondisi ke kondisi yang lain, digunakan feedback positif dan negatif secara bergantian.

Contoh feedback negatif adalah seorang manager menunjukkan kekecewaan atas pekerjaan stafnya yang ‘terlalu kreatif’ (sampai di luar batas formalitas aturan, misalnya) sehingga staf tersebut mengurangi sedikit kreativitasnya dan bekerja lebih formal. Contoh feedback positif, manager memuji satu stafnya di depan staf-staf yang lain dengan tujuan agar staf tersebut termotivasi untuk lebih baik sekaligus agar mereka saling berkompetisi satu sama lain. Ini terjadi pada kondisi berkembang. Feedback positif seperti ini mungkin tidak dapat dilakukan terus menerus karena bisa jadi justru menimbullkan kecemburuan dan persaingan tidak sehat. Penggunaan feedback negatif dan positif secara bergantian, misalnya si manager mengkritik kinerja para bawahannya dengan tujuan agar produktivitas mereka meningkat dan ketika telah menunjukkan peningkatan yang signifikan, manager mengurangi kritiknya. Ini terjadi pada kondisi perubahan. Contoh lain dari feedback adalah pada proses melahirkan. Seorang ibu dengan panduan bidan atau dokter kandungannya, mengejan (feedback positif) dan menahan ejanan  (feedback negatif) sambil mengambil nafas secara bergantian untuk kelancaran proses persalinan. Contoh feedback pada benda mati, misalnya pada air conditioner (AC), dimana AC bekerja keras (feedback positif) mengatur suhu ruangan sesuai yang diminta dan ketika suhu ruangan sudah mendekati suhu yang diminta, AC mengurangi daya atau usahanya (feedback negatif), bahkan berhenti ketika suhu sudah sesuai permintaan. 

10 Jul 2015

TEORI SISTEM (04): Kaidah-kaidah Sibernetika

Sibernetika terkait cara sistem mengukur pengaruhnya dan membuat penyesuaian yang diperlukan. Perangkat-perangkat sibernetik terdiri dari sensor, komparator, dan aktivator. Sensor mengirim feedback ke komparator, yang menetapkan kapan mesin menyimpang atau berdeviasi dari kondisi normalnya. Komparator memandu aktivator untuk menghasilkan output yang memengaruhi lingkungan dengan berbagai cara. Tiga proses dasar tersebut merupakan basis dari sibernetika: output-feedback-adjustment.

Mekanisme feedback bervariasi dan kompleks. Perilaku terdiri dari perilaku pasif (hasil dari faktor luar) dan perilaku aktif (dari dalam sistem itu sendiri). Menggaruk bagian tubuh yang gatal adalah contoh perilaku pasif, sedangkan melambaikan tangan ke teman merupakan contoh perilaku aktif. Perilaku aktif ada yang bertujuan (membutuhkan feedback) dan ada yang tidak (perilaku acak/random). Mengusap muka bisa jadi perilaku random tetapi bisa juga bertujuan ketika dilakukan untuk mengekspresikan sesuatu, misalnya kekecewaaan. Perilaku bertujuan yang membutuhkan feedback, terdiri dari yang sederhana (membutuhkan feedback sederhana) dan yang kompleks (membutuhkan feedback positif dan/atau negatif). Perilaku pada sistem yang kompleks mungkin terprediksi dan mungkin tidak terprediksi. Perilaku yang terprediksi didasarkan pada posisi antisipatif, bukan posisi aktual. Seorang pemain bola mengoper bola bukan ke tempat dimana temannya berada, tetapi ke lokasi dimana teman tersebut akan berlari ke arahnya.

9 Jul 2015

TEORI SISTEM (03): Problem dalam Teori Informasi

Teori informasi mengibaratkan manusia sebagai mesin yang mengelola informasi. Ada argumen bahwa manusia berbeda dengan mesin sehingga hubungan kausal efek linear tidak dapat diterapkan begitu saja. Selain itu, Teori Informasi tidak memperhitungkan makna atau pemaknaan pesan, tetapi hanya soal transmisi (penyampaian) dan resepsi (penerimaan) pesan. Problem lain Teori informasi dan Teori Sistem secara umum dijelaskan di bagian Kritik atas Teori Sistem.